Medannewstv.com – Setelah didirikan sejak 5 Oktober lalu, buruh kembali ke pusaran politik praktis, mereka dinilai tak lepas dari bayang-bayang pragmatisme politik kelompok elite. Kamis (7/10/2021)
Dalam deklarasi itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)Said Iqbal didapuk menjadi ketua umum Partai Buruh 2021-2026. Penunjukan itu diklaim hasil dari suara 11 elemen serikat buruh yang ada.
Said Iqbal dengan percaya diri menyebut Partai Buruh bukan hanya didukung oleh kelas pekerja, namun juga mendapat dukungan dari elemen masyarakat sipil lain, seperti petani, nelayan, guru, hingga organisasi gerakan perempuan.
Namun kebangkitan kembali Partai Buruh dikhawatirkan hanya untuk memenuhi hasrat kepentingan elite tertentu menjelang Pemilu 2024.
Kekhawatiran itu bisa dilihat dari urungnya Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) bergabung ke partai tersebut. Sekretaris Jenderal KASBI Sunarno menyebut pihaknya tak akan bergabung jika pembentukan Partai Buruh hanya untuk Pemilu 2024 mendatang.
“Kalau itu dibangun untuk ke depan untuk persatuan alternatif sejatinya kita sepakat, kalau hanya sekadar itu [Pemilu] 2024 ya kita belum bersepakat,” kata Sunarno.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kemunculan Partai Buruh menjelang Pemilu 2024 harus dipertanyakan. Ia khawatir elite Partai Buruh hanya akan memanfaatkan suara massa buruh untuk pemilu.
“Idealnya kalau memang itu bertujuan jangka panjang, dideklarasikan sudah tahun-tahun sebelumnya daripada menjelang tahun pemilu ini. Itu sudah kelihatan sekali polanya,” kata Wasisto
Menurut Wasisto, pilihan KASBI tidak mau berpihak juga merupakan pilihan yang logis. Sebab, selama ini gerakan-gerakan buruh memperlihatkan kecenderungan hanya menonjolkan para elite buruh itu sendiri.
“Artinya, politik buruh pada akhirnya cukup elitis juga karena hanya elite saja yang diakomodir, tapi anggotanya belum tentu mendapat terapan yang sama,” ungkapnya.
Keberpihakan Partai Buruh juga dipertanyakan tatkala deklarasi dilakukan di sebuah hotel mewah, yakni Hotel Grand Cempaka, Jakarta. Menurut Wasisto, tindakan itu sangat kontradiktif. Ia menliai pemilihan tempat deklarasi itu jauh dari jangkauan semua kalangan.
Pada akhirnya, kata Wasisto, kemunculan Partai Buruh berpotensi bukan sebagai alat perjuangan buruh, melainkan hanya simbol politik.
“Saya pikir kemasan buruh inilah yang dijual oleh Said Iqbal bisa menarik semua perhatian kalangan buruh,” ucapnya.
Tanpa Ideologi Partai Buruh
Melihat perjalanan partai buruh sejak era reformasi, butuh formula dan strategi yang moncer untuk bertahan di tataran politik praktis.
Sejak rezim Orde Baru runtuh, beberapa kali partai buruh tak pernah lolos saat verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Suara yang digalang pun tak pernah mencapai target (ambang batas) dan mendapat kursi di parlemen.
Partai Buruh Nasional (PBN) misalnya, pada pemilu 1999 partai itu hanya berhasil mendapat 111.629 suara. Walhasil, gagal mendapat kursi parlemen.
Seperti dilansir CNNIndonesia, Wasisto menilai salah satu tantangan Partai Buruh yang muncul pascareformasi adalah cap ‘kiri’ dan ‘komunis’. Ia mengatakan cap itu dilahirkan oleh rezim orba dan masih menjadi wacana dominan di Indonesia sampai saat ini.(bas)